Opini : By. Ismail
Marzuki, SE
Jabatan Politik dalam
administrasi publik adalah pejabat publik
yang dihasilkan oleh pemilu atau pemilukada. Sementara itu, jabatan politis, merupakan jabatan yang dihasilkan oleh
proses politik, misal,
Gubernur, wakil gubernur, Presiden/ wakil Presiden, beserta para menterinya.
Jabatan Kepala Desa atau sebutan lain adalah
jabatan yang dipilih langsung oleh
rakyat atau masyarakat desa secara demokratis. Jabatan tersebut sama seperti
jabatan politik lainya seperti jabatan wakil rakyat atau DPR, Bupati /
Walikota, Gubernur bahkan Presiden sekalipun. Mereka dipilih langsung oleh
Rakyat. Bahkan mereka diwajibkan untuk diusung oleh Partai Politik, bila ingin
mengikuti kontestasi merebut jabatan politik tersebut dengan alasan mereka
adalah kader Partai Politik terbaik mereka.
Hal ini berbanding
terbalik dengan jabatan Kepala Desa. Seseorang yang ingin merebut jabatan
Kepala Desa justru dilarang untuk menjadi kader atau pengurus Partai Politik.
Bila seorang kandidat kepala desa diketahui tercatak sebagai kader atau
pengurus partai politik, maka kandidat tersebut terancam diskualifikasi dari
pencalonannya. Padahal, calon Kepala Desa bukan dari unsure PNS/TNI/Polri.
Ironis sekali bukan ?
Entah disadari atau tidak oleh para pembuat
undang-undang, yang jelas, kondisi ini sudah berlangsung lama sejak zaman Orde
Lama, Orde Baru dan bahkan di orde Reformasi sekarang ini. Di zaman orda baru
(Orba), jabatan politik baik Presiden, Gubernur maupaun Bupati/walikota,
dihasilkan dengan musyawarah wakil rakyat (DPR, DPRD Prov. DPRD Kab/Kota) hasil
pemilihan umum (Pemilu). Sementara itu, kepala desa tetap saja dipilih langsung
oleh rakyat desanya masing-masing, tanpa menggunakan Partai Politik terendah
yang ada di desa masing-masing.
Di era reformasi, terjadi perubahan besar
dalam perebutan jabatan politik. Jabatan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota
dipilih langsung oleh rakyat. Sesorang yang ingin merebut jabatan tersebut
harus diusung oleh Partai Politik. Maka partai politiklah yang memegang peran
penting untuk mencalonkan kader terbaiknya untuk merebut jabatan politik.
Sementara itu di zaman reformasi ini juga jabatan kepala desa tetap saja di
pilih langsung oleh rakyat dan kandidatnya tetap tidak diperbolehkan menjadi
kader partai politik.
Hal yang sama juga terjadi pada Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). BPD yang diamanatkan untuk menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala
Desa. Peraturan Desa (Perdes) sebagaimana tercantum dalam penjelasan UU no 6
tahun 2014 tentang desa adalah sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses
secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan
partisipasi masyarakat Desa. Sekali lagi, mereka tidak boleh berpolitk.
Apakah para politisi senayan menganggap para kepala desa dan BPD adalah
objek politik dan bukan subjek politik ?
sehingga membiarkan kondisi warisan orde baru (Orba) ini terus
berlangsung di era reformasi ini ?. Padahal kalau para politisi senayan ingin
mengembangkan system perpolitikan sampai ke desa, mereka dapat saja menggunakan
kader terbaik parpol mereka yang ada di tingkat desa untuk merebut tampuk
kekuasan di desa, baik sebagai kepala desa maupun pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Dengan demikian, kedepan kita akan menyaksikan
kepala desa yang merupakan Pimpinan Parpol A di tingkat desa, sementara itu
Ketua BPDnya adalah kader Partai B di tingkat desa tersebut. Dengan demikian
maka kekuasaan yang di monopoli oleh Kepala desa tidak akan terjadi lagi karena
ada BPD yang benar-benar independen yang akan mengawasi.
***********
0 komentar:
Post a Comment