Tuesday, December 5, 2017

Stop Korupsi !!!!

SELAMAT HARI ANTI KORUPSI INTERNATIONAL, 9 DESEMBER 2017

 Stop Korupsi !!!
Obrolan Opini By. Ismail Marzuki, SE

Obrolan Kito,
Dalam tahun 2017 ini, Upaya Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Empat Lawang oleh Penegak Hukum, nampaknya mulai bergerak. Hal ini terlihat dari adanya beberapa kasus korupsi yang telah dan akan disidangkan oleh Penuntut Umum. Diantara kasus tersebut adalah kasus OTT di BPMD, kasus Korupsi Dana Desa dengan 2 orang Oknum Kades yang sedang disidik oleh Kejari Empat Lawang. Dari dua kasus Tipikor tersebut, bukan tidak mungkin akan ada kasus-kasus tipikor lain yang akan menyusul.
Dari berbagai sumber, kasus-kasus korupsi di tanah air, penulis dapat menyimpulkan bahwa Korupsi dapat terjadi karena
beberapa hal diantaranya adalah :
1.    Ketidaktahuan Penyelenggara Negara tentang Tindak Pidana Korupsi
2.    Ketidaktahuan Penyelenggara Negara tentang Administrasi dan Tata Usaha Negara yang berakibat terjadinya korupsi
Dari 2 hal kesimpulan diatas maka korupsi dapat terjadi dengan kesengajaan dan ketidak sengajaan.
          Untuk kasus kasus korupsi yang terjadi dengan kesegajaan hal ini biasanya dapat terlihat dari upaya – upaya yang dilakukan oleh penyelenggara Negara yang dimulai dari perencanaan suatu kegiatan, Pelaksanaan Kegiatan dan Penerimaan hasil kegiatan. Semuanya diatur secara professional, terstruktur, sistematis dan massif, sehingga semua kegiatan berjalan lancar seolah-olah telah sesuai dengan undang-undang dan peraturan peraturan yang berlaku. Untuk penanganan kasus ini diperlukah kejelian dan tekad yang kuat dari aparat penegak hukum untuk membongkarnya. Dan kasus-kasus korupsi yang terjadi dengan tanpa kesengajaan ini biasanya berawal dari ketidaktahuan administrasi dan tata usaha Negara sehingga terjadi kesalahan administrasi yang berdampak pada kerugian Negara. Untuk itu usaha preventif perlu dilakukan oleh pihak yang berkompeten agar kesalahan akibat dari ketidaktahuan dapat dihindari.
Salah satu usaha preventif adalah dengan memberikan dan atau menginformasikan serta menyebarluaskan tentang aturan dan pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu dalam opini ini, penulis mencoba untuk turut berpartisifasi dalam usaha pencegahan tindak pidana korupsi sesuai dengan pengetahuan yang penulis ketahui. Usaha pencegahan tersebut berupa pemberitahuan dan atau informasi tentang Peraturan-peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan Korupsi itu sendiri. Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas Korupsi yang berkaitan dengan Suap Menyuap dan atau korupsi yang berkaitan dengan gravitasi, yang bahannya penulis ambil dari berbagai sumber yang ada.
Seperti diketahui bersama bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuat 30 kegiatan yang masuk dalam kategori Korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 7 macam bentuk Korupsi. Pada opini kali ini penulis mencoba untuk menampilkan beberapa pasal saja diantaranya :
1.    Perbuatan yang Merugikan Negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
a.    Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) :
1.    ” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
2.    ” Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
3.     Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

4.     Suap – Menyuap

Suap – menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap pegawai negei yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini telah diatur dalam UU PTPK :
a.     Pasal 5 ayat (1) UU PTPK;
b.     Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK;
c.     Pasal 5 ayat (2) UU PTPK;
d.     Pasal 13 UU PTPK;
e.     Pasal 12 UU PTPK
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c.    hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut  diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d.    seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f.     pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h.   pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau

i.     pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A
1.    Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2.    Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B
1.    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a.    yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.    yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2.    Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C
1.    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.    Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
3.    Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
4.    Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  
5.     Pemerasan.

Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1.    Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat. Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar hukum dan definisinya yaitu :
a.    Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan dengan kekuasaannya itu memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU PTPK;
b.    Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dari peraturan atau haknya padahal kenyataannya tidak demikian. Pasal yang mengatur tentang kasus ini adalah Pasal 12 huruf e UU PTPK.

2.    Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi jenis ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK.
  
6.     Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender. Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i UU PTPK sebagai berikut ;
”Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”

7.     Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi (Hadiah)
Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya.
Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12B UU PTPK dan Pasal 12C UU PTPK, yang menentukan :

“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut di dugabahwa hadiah, tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan jabatannya.”
  
Demikian hal ini penulis sampaikan semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua yang pada akhirnya kita dapat terhindar dari jerat-jerat pasal korupsi.



Share:

0 komentar:

Featured Post

DPRD Lubuk Linggau Rapat Sahkan RAPBD 2025

Cari di web ini

Tag