Proyek Panggung Seni yang tak tuntas

“ Ini bangunan apa?. Kalau untuk lantai jemur, mana gudangnya? “ ujar Sunan asal kota Palembang.........

Tuesday, August 26, 2025

Analisis Hukum atas Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI bebarapa hari yang lalu

Jakarta UKN

Kasus penculikan dan pembunuhan Muhammad Ilham Pradipta bukan sekadar tindak kriminal biasa. Dalam perspektif hukum pidana Indonesia, para pelaku bisa dijerat dengan sejumlah pasal berat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Baca Juga  yaitu

1.    Geger di Musi Rawas! Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini Serangan terhadap Kebebasan Pers!”

2. Jejak Panjang Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih

3. Kejagung Digugat karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!

4. Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

5.    Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK

6.  Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

Diantaranya adalah :

1.    Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Fakta bahwa Ilham ditemukan tewas dengan kondisi terikat lakban memperkuat dugaan adanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

2.    Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana)

Jika terbukti bahwa penculikan ini memang dirancang sejak awal, lengkap dengan pengintaian dan eksekusi yang sistematis, maka para pelaku dapat dijerat pasal pembunuhan berencana. Hukuman maksimalnya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, atau 20 tahun penjara.

3.    Pasal 328 KUHP (Penculikan)

Penculikan yang disertai dengan perampasan kemerdekaan seseorang dapat diganjar pidana penjara paling lama 12 tahun.

4.    Pasal 55 KUHP (Turut serta melakukan)

Pasal ini dapat menjerat mereka yang tidak turun langsung melakukan pembunuhan, tetapi ikut memerintahkan atau membantu jalannya kejahatan. Inilah pasal yang kemungkinan besar akan dikenakan pada para aktor intelektual seperti C, DH, YJ, dan AA.

Celah Hukum dan Praktik Debt Collector

Keterlibatan seorang debt collector bernama RW dalam kasus ini menyoroti praktik penagihan utang yang kerap disalahgunakan. Meskipun pekerjaan debt collector tidak dilarang, namun praktik di lapangan sering kali berbenturan dengan hukum.

Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 18/SEOJK.07/2018, perusahaan jasa keuangan dilarang menggunakan cara-cara kekerasan, ancaman, atau mempermalukan debitur saat melakukan penagihan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Dalam kasus Ilham, meski motif belum sepenuhnya jelas, kehadiran seorang debt collector di antara para pelaku memperkuat dugaan bahwa persoalan utang atau kredit macet bisa menjadi pemicu awal. Jika terbukti, kasus ini bisa membuka perdebatan lebih luas soal bagaimana regulasi terhadap jasa penagihan utang perlu diperketat.

Dari konstruksi hukum yang ada, polisi berpeluang menjerat para pelaku dengan pasal berlapis. Para eksekutor bisa dikenakan Pasal 340 KUHP, sementara aktor intelektual akan dijerat Pasal 55 KUHP.

“Jika pembuktian kuat, hukuman maksimal bisa berupa pidana mati atau seumur hidup,” kata seorang ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia.

Lebih lanjut, penggunaan kekerasan dalam praktik penagihan utang juga bisa menjerat pelaku dengan pasal tambahan di luar KUHP, termasuk UU Perlindungan Konsumen.

Kasus ini bukan hanya tentang kriminalitas semata, tetapi juga menyangkut citra dunia perbankan, kredibilitas aparat penegak hukum, serta regulasi praktik penagihan utang di Indonesia.

1.    Bagi perbankan, kasus ini menjadi pengingat bahwa keamanan pejabat di posisi strategis perlu ditingkatkan.

2.    Bagi penegak hukum, kasus ini menunjukkan bahwa sindikat kejahatan terorganisir masih bisa bergerak leluasa di ibu kota.

3.    Bagi regulator keuangan, kasus ini mempertegas bahwa praktik debt collector di lapangan membutuhkan pengawasan yang lebih ketat agar tidak merugikan masyarakat atau bahkan menimbulkan korban jiwa.

Dari data yang dihimpun di media sosial, kasus ini semakin memperlihatkan betapa seriusnya ancaman yang dihadapi korban sebelum akhirnya meregang nyawa. Hukum Indonesia sudah menyediakan perangkat tegas untuk menghukum para pelaku. Namun, pertanyaan yang lebih besar adalah, apakah tragedi ini akan menjadi titik balik dalam penindakan praktik kejahatan terorganisir dan penyalahgunaan profesi debt collector di Indonesia? Mari kita tunggu keterangan penyidik selanjutnya. (TIM)

Share:

Geger di Musi Rawas! Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini Serangan terhadap Kebebasan Pers!”

Musi Rawas, UKN

Aroma ketegangan antara insan pers dan pemerintah daerah kembali menyeruak di Kabupaten Musi Rawas. Kali ini, kasus somasi yang dilayangkan oleh Law Office BRM & Partners atas pemberitaan media online lubuklinggauterkini.com justru memantik api polemik baru: apakah kebebasan pers di Musi Rawas sedang diganggu?

 

Baca Juga  yaitu

1.    Jejak PanjangPenculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih

2.    Kejagung Digugatkarena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!

3.    Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

4.    Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK

5.    Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

6.    Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta Amnesti ke Istana

Bagi publik, kasus ini bukan sekadar sengketa pemberitaan biasa. Di baliknya, tersimpan isu krusial tentang kebebasan pers yang merupakan pilar demokrasi. Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO.I) Kabupaten Musi Rawas, Herlyansah H.E atau yang akrab disapa Bang Herly, tampil ke depan dengan suara lantang. Ia mendesak agar Pemerintah Kabupaten Musi Rawas—khususnya Bupati Hj. Ratna Mahmud—tidak tinggal diam menghadapi praktik yang berpotensi membungkam suara wartawan.

Kasus bermula dari sebuah artikel di lubuklinggauterkini.com berjudul: “Sekda serta Kadis Enggan Berkomentar, Diduga Belanja BBM Dinsos Mura Fiktif”. Berita ini menyinggung dugaan penyimpangan dalam anggaran belanja bahan bakar minyak (BBM) di Dinas Sosial Kabupaten Musi Rawas Tahun Anggaran 2024.

Alih-alih memberikan hak jawab atau klarifikasi, pihak Dinas Sosial Musi Rawas justru menempuh jalur hukum dengan melayangkan somasi melalui Law Office BRM & Partners. Bagi kalangan pers, langkah ini dianggap berlebihan, bahkan sarat nuansa intimidasi.

“Seharusnya pejabat cukup menggunakan hak jawab jika merasa dirugikan. Bukan malah mengeluarkan somasi yang justru bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers,” tegas Bang Herly saat ditemui di kantornya.

Pernyataan keras Bang Herly tidak datang tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak untuk mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkan informasi kepada publik. Lebih jauh, undang-undang juga memberikan mekanisme jelas jika terjadi sengketa pemberitaan: melalui hak jawab dan hak koreksi.

“Jika pejabat tidak setuju dengan isi berita, ada mekanismenya. Jangan malah menggunakan somasi, apalagi kalau ujung-ujungnya bisa dianggap intimidasi. Ini bisa jadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Musi Rawas,” tambahnya.

 

Menurutnya, pers bukan musuh pemerintah, melainkan mitra strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa pers, publik akan kehilangan akses pada informasi faktual yang menjadi bahan dasar dalam menilai kinerja pemerintah.

Pers Sebagai Pilar Demokrasi. Bang Herly menegaskan, pers adalah pilar demokrasi yang sejajar pentingnya dengan lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Wartawan bukan sekadar penulis berita, melainkan penghubung antara fakta di lapangan dengan masyarakat luas.

“Tanpa wartawan, masyarakat akan kehilangan informasi yang objektif dan berimbang. Itu berbahaya, karena bisa melahirkan ruang gelap yang dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah daerah seharusnya mendukung kerja-kerja jurnalistik, bukan malah menciptakan ketakutan dengan ancaman hukum. “Kalau wartawan dibungkam, siapa yang akan menyuarakan suara rakyat?” tanya Bang Herly retoris.

Ketua IWO.I Musi Rawas secara terbuka mendesak Bupati Hj. Ratna Mahmud agar turun tangan. Menurutnya, bupati harus memberikan sinyal positif dengan mendukung kebebasan pers sebagai fondasi demokrasi yang sehat.

“Bupati harus berdiri di depan, memberikan dukungan penuh terhadap jurnalis. Jangan sampai pemerintah dianggap membiarkan upaya intimidasi terhadap wartawan,” katanya.

Dukungan dari kepala daerah, lanjutnya, akan menjadi penegasan moral bahwa Kabupaten Musi Rawas berkomitmen pada transparansi dan akuntabilitas. “Kalau pemerintahnya terbuka, kenapa harus takut dengan pemberitaan? Justru berita itu bisa jadi masukan untuk perbaikan,” jelasnya.

Kasus ini tidak berhenti di Musi Rawas saja. Reaksi keras juga muncul dari pengurus pusat Ikatan Wartawan Online Indonesia (DPP IWO.I) yang ikut menyoroti. Mereka menilai langkah somasi oleh pejabat Dinsos Musi Rawas sebagai ancaman serius bagi ekosistem pers nasional.

“Ini bukan hanya soal satu wartawan, tapi soal kebebasan pers di Indonesia. Jika kasus seperti ini dibiarkan, bisa menular ke daerah lain. Setiap pejabat yang merasa ‘tidak nyaman’ dengan berita bisa saja menempuh cara serupa,” ujar salah satu pengurus IWO.I di tingkat pusat.

Solidaritas juga muncul dari berbagai wartawan di kawasan Musi Rawas, Lubuklinggau, hingga Musi Rawas Utara. Mereka menegaskan siap mengawal kasus ini agar tidak merugikan kebebasan pers di daerah.

Menurut para praktisi media, perbedaan besar antara hak jawab dan somasi adalah pada niat penyelesaiannya. Hak jawab memberi ruang klarifikasi secara elegan dalam media yang sama, sedangkan somasi cenderung bernuansa mengintimidasi.

“Undang-undang pers sudah memberi ruang yang adil. Kalau berita tidak sesuai fakta, silakan gunakan hak jawab. Itu mekanisme yang sehat. Somasi apalagi sampai pidana, itu justru bisa dianggap bentuk kriminalisasi pers,” jelas seorang pengamat media di Sumatera Selatan.

Pernyataan ini sejalan dengan pasal-pasal dalam UU Pers yang menegaskan penyelesaian sengketa pemberitaan harus mengedepankan hak jawab dan hak koreksi, bukan langsung mengarah ke jalur hukum.

Pers Harus Profesional, Tapi Tidak Boleh Dibungkam. Bang Herly juga mengingatkan bahwa wartawan pun memiliki tanggung jawab profesional. “Kebebasan pers bukan berarti tanpa batas. Wartawan tetap harus taat kode etik dan bekerja berdasarkan fakta. Tapi itu tidak mengurangi hak mereka untuk menyampaikan informasi,” tegasnya.

Artinya, pers memang wajib menjaga kredibilitas dan integritas. Namun, tindakan pejabat yang mencoba membatasi ruang gerak pers tetap tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika menggunakan instrumen hukum untuk menekan wartawan.

Kasus dugaan belanja BBM fiktif di Dinsos Musi Rawas sejatinya adalah isu publik. Anggaran yang dipakai bersumber dari uang rakyat, sehingga wajar jika masyarakat menuntut transparansi. Media hanya menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi.

“Kalau memang ada dugaan penyimpangan, publik berhak tahu. Pemerintah harus transparan, bukan malah memusuhi wartawan yang memberitakan,” kata seorang aktivis antikorupsi lokal.

Menurutnya, reaksi pejabat yang terlalu defensif justru menimbulkan tanda tanya besar. “Kenapa harus takut dengan pemberitaan kalau tidak ada yang disembunyikan?”

Ketua IWO.I Musi Rawas memastikan pihaknya tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus mengawal kasus ini, termasuk setiap bentuk intimidasi maupun tekanan terhadap jurnalis.

“Kami bertekad mengawal sampai tuntas. Jangan ada lagi wartawan yang dibungkam dengan somasi atau cara-cara intimidatif,” pungkas Bang Herly.

Kasus ini menjadi cermin penting bagi wajah demokrasi di Kabupaten Musi Rawas. Apakah pemerintah daerah siap membangun iklim keterbukaan informasi, atau justru masih terjebak dalam paradigma lama yang memandang pers sebagai ancaman?

Jika kebebasan pers tidak dihormati, Musi Rawas berpotensi kehilangan kepercayaan publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sebaliknya, jika pemerintah merangkul pers sebagai mitra, Musi Rawas bisa menjadi contoh daerah yang demokratis, transparan, dan progresif.

Kebebasan pers bukan sekadar jargon. Ia adalah hak fundamental masyarakat untuk tahu, mengawasi, dan menilai jalannya pemerintahan. Wartawan hanyalah perantara, sementara yang mereka perjuangkan sejatinya adalah hak publik atas informasi.

Kasus somasi terhadap wartawan di Musi Rawas harus menjadi alarm peringatan. Pemerintah daerah, khususnya Bupati, dituntut segera mengambil sikap tegas: apakah berpihak pada keterbukaan atau membiarkan intimidasi membayangi kerja-kerja jurnalistik?

Sebagaimana pesan Bang Herly, “Pers yang merdeka tetap profesional. Tapi kebebasan itu harus dijamin agar masyarakat tidak kehilangan haknya atas informasi.” (Rls/IWO.I Mura)

Share:

Jejak Panjang Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih

Jakarta UKN

Kasus penculikan dan pembunuhan Kepala Kantor Cabang Pembantu (KCP) BRI Cempaka Putih, Muhammad Ilham Pradipta, terus menyita perhatian publik. Polisi bergerak cepat, menangkap delapan orang yang diduga terlibat dalam skenario kejahatan keji ini: empat orang sebagai pelaku lapangan, dan empat lainnya sebagai aktor intelektual yang diduga menjadi dalang di balik penculikan hingga pembunuhan sadis.

 

Baca Juga  yaitu

1.    Kejagung Digugat karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!

2.    Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

3.    Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK

4.    Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

5.    Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta Amnesti ke Istana

Kronologi kasus ini bukan sekadar tindak kriminal iasa. Dari kesaksian saksi mata, rekaman CCTV, hingga penangkapan beruntun para pelaku, tampak jelas bahwa peristiwa ini telah direncanakan matang. Bahkan, beberapa hari sebelum penculikan, kelompok pelaku sudah mengintai korban di sekitar kantor tempatnya bekerja.

Rabu siang, 20 Agustus 2025, suasana di halaman parkir Lotte Mart Ciracas, Jakarta Timur, mendadak mencekam. Kamera CCTV merekam jelas momen saat Ilham Pradipta berjalan ke arah mobil pribadinya usai keluar dari kantor pusat PT Lotte Mart Indonesia.

Tiga orang pria tiba-tiba keluar dari sebuah minibus putih yang sudah parkir di samping mobil korban. Mereka langsung mencegat Ilham, memaksa masuk ke mobil pelaku. Sempat terlihat korban berusaha melawan, namun kalah jumlah. Hanya dalam hitungan detik, korban lenyap dibawa pergi.

Peristiwa ini sontak membuat publik geger. Video rekaman CCTV beredar luas di media sosial, memunculkan spekulasi liar mulai dari motif utang piutang, urusan bisnis, hingga dugaan dendam pribadi.

Keesokan harinya, Kamis, 21 Agustus 2025, kabar duka menghentak keluarga besar BRI. Jenazah Ilham ditemukan di sebuah area sepi di Kampung Karang sambung, Desa Nagasari, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi. Kondisinya mengenaskan tangan terikat, mata dililit lakban.

Polisi yang melakukan olah TKP menduga korban disiksa sebelum dibunuh. “Ini jelas eksekusi yang direncanakan. Bukan sekadar penculikan acak,” kata seorang penyidik yang enggan disebutkan namanya.

Penyelidikan intensif Polda Metro Jaya berbuah hasil. Hanya dalam beberapa hari, polisi berhasil membekuk delapan orang yang diduga terlibat. Mereka terbagi dalam dua kelompok:

 

1.    Pelaku lapangan (eksekutor penculikan) yaitu AT, RS, RAH dan RW alias Eras

Tiga dari mereka ditangkap di sebuah rumah di Johar Baru, Jakarta Pusat. Sementara Eras, 28 tahun, ditangkap di Bandara Komodo, Labuan Bajo, saat hendak melarikan diri ke NTT.

Polisi menyebut Eras sehari-hari bekerja sebagai debt collector di Jakarta. Kehidupan keras di dunia penagihan utang membuatnya terbiasa dengan intimidasi, bahkan kekerasan. “Saat diamankan, dia tidak melakukan perlawanan,” kata AKP Lufthi Darmawan Aditya, Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat.

2.    Aktor intelektual (dalang penculikan) yaitu C, DH, YJ, AA

Ketiganya, yakni DH, YJ, dan AA, ditangkap di Solo, Jawa Tengah, pada Sabtu malam, 23 Agustus 2025. Sedangkan C ditangkap keesokan harinya di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Polisi menduga kuat merekalah otak yang mengatur seluruh skenario penculikan hingga pembunuhan korban.

Hingga kini, polisi masih mendalami motif utama penculikan dan pembunuhan ini. Namun, sejumlah dugaan mengarah pada masalah finansial.

Fakta bahwa salah satu pelaku berprofesi sebagai debt collector memunculkan spekulasi bahwa korban memiliki keterkaitan dengan urusan utang-piutang besar. Namun, pihak keluarga korban membantah keras tudingan tersebut.

“Almarhum adalah pribadi jujur dan profesional. Dia sangat menjaga nama baik perusahaan dan keluarga. Tidak ada urusan utang pribadi yang aneh-aneh,” kata seorang kerabat dekat Ilham.

Polisi tidak menutup kemungkinan ada keterkaitan dengan pekerjaan korban sebagai kepala KCP BRI. Posisi strategis di bank besar sering kali membuat seseorang berhadapan dengan persoalan pelik: kredit macet, penagihan, hingga kasus fraud internal.

Kasus ini memperlihatkan kesigapan polisi. Dalam kurun kurang dari satu minggu, semua pelaku berhasil diringkus.

1.    Pada 21 Agustus 2025, Tiga eksekutor ditangkap di Johar Baru, Jakarta Pusat.

2.    Pada tanggal yang sama 21 Agustus 2025, Eras ditangkap di Bandara Komodo, Labuan Bajo, saat hendak kabur.

3.    Kemudian 23 Agustus 2025, Tiga aktor intelektual ditangkap di Solo, Jawa Tengah.

4.    Dan 24 Agustus 2025, inisial C  yang didguga dalan utama ditangkap di PIK, Jakarta Utara.

Menurut AKBP Abdul Rahim, Kasubdit Jatanras Polda Metro Jaya, para pelaku saat ini tengah menjalani pemeriksaan intensif. Polisi masih mengurai benang kusut siapa sesungguhnya yang menjadi otak perintah pembunuhan.

Kematian tragis seorang pejabat bank ternama di ibu kota membuat publik resah. Banyak yang khawatir kejahatan semacam ini menjadi tren baru, penculikan terencana terhadap orang-orang dengan posisi strategis di perusahaan besar.

“Kasus ini mengingatkan bahwa siapa pun bisa jadi target, apalagi mereka yang punya peran penting dalam urusan keuangan,” kata seorang pengamat kriminal.

Di sisi lain, kasus ini juga membuka mata bahwa praktik debt collector, terutama yang beroperasi di luar kendali hukum, masih marak. Tidak jarang, para penagih utang menggunakan cara-cara intimidatif, bahkan kekerasan.

 

Pihak BRI akhirnya angkat bicara. Melalui keterangan resmi, mereka menyampaikan duka mendalam atas kematian Muhammad Ilham Pradipta.

“Almarhum adalah salah satu pegawai terbaik kami. Kepergiannya menjadi pukulan berat, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi seluruh insan BRI,” demikian pernyataan resmi manajemen.

BRI menegaskan akan mendukung penuh penyelidikan polisi hingga kasus ini tuntas dan keadilan ditegakkan.

Meskipun delapan pelaku sudah ditangkap, misteri kasus ini belum sepenuhnya terungkap. Pertanyaan besar masih menggantung:

1.    Apa motif sesungguhnya di balik penculikan dan pembunuhan ini?

2.    Siapa dalang utama yang memberi perintah?

3.    Apakah ada keterlibatan pihak lain di luar delapan orang yang sudah ditangkap?

Jawaban atas pertanyaan ini masih menunggu hasil penyidikan polisi. Satu hal yang pasti, kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan terencana bisa mengintai siapa saja, bahkan seorang kepala cabang bank sekalipun.

Kasus penculikan dan pembunuhan Kepala KCP BRI Cempaka Putih, Muhammad Ilham Pradipta, menjadi tragedi kriminal paling menyita perhatian publik tahun ini. Dari skenario perencanaan yang rapi, eksekusi brutal di siang bolong, hingga penemuan jenazah yang mengenaskan, semua memperlihatkan betapa terorganisirnya kejahatan ini.

Polisi telah bergerak cepat, namun publik masih menunggu jawaban final, apa motif sesungguhnya di balik semua ini.

Sementara itu, keluarga, rekan kerja, dan masyarakat hanya bisa berharap agar hukum ditegakkan setegak-tegaknya. Bahwa di balik keadilan yang ditegakkan, ada pesan kuat bahwa tidak ada satu pun nyawa yang boleh dipermainkan dengan cara keji. (TIM)


Share:

Kejagung Digugat karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!

Jakarta UKN

Dunia hukum Indonesia kembali diguncang oleh kabar mengejutkan. Kejaksaan Agung Republik Indonesia, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum, justru kini berada di kursi tergugat. Penyebabnya? Mereka dituding melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena tak kunjung mengeksekusi terpidana kasus pencemaran nama baik, Silfester Matutina, yang sudah berkekuatan hukum tetap alias inkrah.

Baca Juga  yaitu

1.    Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

2.    Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK

3.    Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

4.    Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta Amnesti ke Istana

5.    Waduh ! Wamenaker Noel Jadi Dalang Pemerasan Sertifikat K3, 11 Orang Dijadikan Tersangka KPK

6.    Awal Mula Terkuaknya 72 Siswa 'Siluman' di SMAN 5 Bengkulu, Kepala Sekolah Murka

7.    Gempar! Wamenaker Noel Ebenezer Terjaring OTT KPK, Terseret Dugaan Pemerasan Perusahaan

Gugatan tersebut bukan isapan jempol belaka. Kantor hukum Dhen & Partners Advocates and Legal Consultants, yang diwakili oleh advokat Heru Nugroho dan R. Dwi Priyono, resmi mendaftarkan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan perkara ini telah teregistrasi dengan nomor 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL. Agenda sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 28 Agustus 2025.

Kronologi Kasus yaitu Dari Vonis Inkrah Hingga Eksekusi Mangkrak. Kasus ini berawal dari vonis pengadilan terhadap Silfester Matutina atas perkara pencemaran nama baik. Setelah melalui proses panjang, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi, Silfester dinyatakan bersalah dan vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap.

Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Meski putusan telah inkrah, eksekusi tak kunjung dilaksanakan. Aparat kejaksaan, yang berdasarkan Pasal 270 KUHAP memiliki kewajiban mengeksekusi putusan pengadilan, justru diam seribu bahasa.

Pihak penggugat menilai tindakan itu bukan sekadar kelalaian, melainkan perbuatan melawan hukum yang mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia.

“Perbuatan tersebut sangat patut diduga sebagai PMH, karena apa yang seharusnya dilaksanakan oleh Kejaksaan justru tidak dijalankan. Ironi besar ketika aparat penegak hukum sendiri yang melanggar hukum,” tegas Heru Nugroho dalam keterangannya.

Gugatan ini tidak hanya diarahkan pada Kejaksaan Agung, tetapi juga mencakup Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, serta Hakim Pengawas PN Jakarta Selatan. Dengan kata lain, gugatan ini menyoroti rantai kelembagaan yang lengkap, dari pusat hingga daerah.

Langkah hukum ini dianggap sangat berani, bahkan bisa menjadi momentum penting dalam sejarah peradilan Indonesia. Menggugat Kejaksaan Agung bukan perkara kecil. Sebab, institusi ini memiliki kewenangan besar, termasuk dalam proses penuntutan dan eksekusi perkara.

Namun, keberanian ini didorong oleh satu alasan mendasar: supremasi hukum harus ditegakkan. Jika aparat hukum sendiri bisa mengabaikan putusan pengadilan yang sudah inkrah, maka prinsip equality before the law hanya akan menjadi jargon kosong.

Dasar Hukum Gugatan, KUHAP dan UU Kejaksaan. Dalam permohonan yang diajukan, penggugat menekankan dasar hukum yang sangat jelas yaitu :

1.    Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menegaskan kewajiban jaksa dalam mengeksekusi putusan pengadilan.

2.    Pasal 270 KUHAP, yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa.

Dengan dua dasar hukum itu, seharusnya tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk menunda eksekusi. Fakta bahwa eksekusi tak kunjung dilakukan justru menimbulkan kecurigaan adanya faktor lain di luar hukum.

“Apakah ada permainan politik? Apakah ada intervensi kekuasaan atau kepentingan tertentu? Inilah pertanyaan besar yang kini muncul di ruang publik,” ujar Dwi Priyono dengan nada kritis.

Preseden Buruk Penegakan Hukum. Para penggugat menilai bahwa kelalaian atau bahkan kesengajaan menunda eksekusi ini bisa menciptakan preseden buruk. Jika masyarakat melihat ada terpidana yang bebas berkeliaran meski sudah divonis bersalah, kepercayaan terhadap hukum akan semakin runtuh.

“Ini bahaya besar. Rakyat bisa berpikir bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Bahwa yang punya kuasa atau koneksi bisa lolos dari jeratan hukum, meski putusannya sudah inkrah,” lanjut Heru Nugroho.

Dalam konteks inilah, gugatan terhadap Kejagung dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan wajah hukum Indonesia. Jika dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kasus serupa akan terjadi lagi di masa depan.

Publik mungkin bertanya-tanya, siapa sebenarnya Silfester Matutina? Ia dikenal sebagai sosok yang cukup kontroversial, beberapa kali terseret dalam kasus hukum, termasuk perkara pencemaran nama baik yang kini menjeratnya.

Meski telah divonis, keberadaan Silfester yang masih bebas dianggap sebagai bentuk ketidakadilan bagi korban. “Bayangkan, korban sudah disakiti nama baiknya, lalu menempuh jalur hukum panjang, menang di pengadilan, tapi ujung-ujungnya vonis tak dijalankan. Apa artinya keadilan kalau begini?” kata seorang praktisi hukum yang enggan disebut namanya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejaksaan Agung belum memberikan penjelasan resmi terkait gugatan tersebut. Namun, tekanan publik semakin besar. Media sosial dipenuhi komentar pedas yang menuding adanya “main mata” antara aparat penegak hukum dan pihak terpidana.

“Kalau rakyat kecil pasti langsung ditangkap dan dieksekusi. Tapi kalau orang punya koneksi, bisa aman-aman saja. Inilah wajah asli hukum kita!” tulis seorang warganet di platform X (dulu Twitter).

Komentar senada juga ramai di Facebook dan Instagram, menandakan isu ini telah menjadi perhatian publik luas.

Kasus ini bukan sekadar gugatan perdata. Ia bisa menjadi momentum penting untuk menguji integritas penegak hukum di Indonesia. Apakah aparat berani menjalankan kewajiban sesuai aturan, atau justru tunduk pada tekanan dan kepentingan tertentu?

Sidang pertama pada 28 Agustus 2025 diyakini akan menjadi sorotan publik. Jika gugatan ini dikabulkan, maka Kejaksaan harus segera mengeksekusi putusan terhadap Silfester. Sebaliknya, jika gugatan ditolak, kepercayaan publik terhadap peradilan bisa semakin merosot.

Kasus Silfester hanyalah satu contoh dari sekian banyak masalah eksekusi vonis di negeri ini. Ada banyak kasus lain di mana terpidana yang sudah divonis inkrah tak kunjung dieksekusi, entah karena alasan teknis, administratif, atau bahkan politis.

Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian hukum yang akut. Padahal, salah satu syarat negara hukum adalah kepastian hukum. Tanpa itu, masyarakat bisa kehilangan rasa percaya, dan hukum tak lagi dipandang sebagai panglima.

Kini semua mata tertuju ke PN Jakarta Selatan, tempat gugatan ini disidangkan. Publik menanti apakah hakim akan berani bersikap independen, atau justru ikut larut dalam arus status quo.

Apa pun hasilnya, gugatan ini sudah membuka tabir tentang lemahnya eksekusi hukum di Indonesia. Lebih jauh, ia menjadi peringatan keras bahwa tanpa keberanian menegakkan hukum secara adil, bangsa ini hanya akan terus dilingkupi ketidakpastian dan ketidakadilan.

Seperti kata pepatah hukum, “Fiat justitia ruat caelum” – tegakkan keadilan meski langit runtuh. Dan kini, masyarakat menunggu, apakah keadilan itu benar-benar akan ditegakkan dalam kasus Silfester Matutina. (TIM)
Share:

Monday, August 25, 2025

Senayan di Demo Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?

 Jakarta UKN

Isu yang beberapa hari terakhir beredar di jagat maya akhirnya benar-benar pecah menjadi kenyataan. Hari ini, Senin (25/8/2025), ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat memadati kawasan sekitar Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta. Teriakan lantang mereka hanya satu, “Bubarkan DPR!”

Baca Juga  yaitu

1.    Heboh! Rakyat Siap Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada  25 Agustus 2025!”

2.    Immanuel Ebenezer Minta Amnesti ke Istana

3.    Waduh ! Wamenaker Noel Jadi Dalang Pemerasan Sertifikat K3, 11 Orang Dijadikan Tersangka KPK

4.    Awal Mula Terkuaknya 72 Siswa 'Siluman' di SMAN 5 Bengkulu, Kepala Sekolah Murka

5.    Gempar! Wamenaker Noel Ebenezer Terjaring OTT KPK, Terseret Dugaan Pemerasan Perusahaan

6.    Drama Mencekam di Jakarta. Kepala KCP sebuah Bank Diculik di Parkiran Mal, Dibunuh Sadis, 4 Pelaku Diciduk!

7.    Akhirnya 39 kades habis masa jabatan. Kini Resmi Dikukuhkan Bupati Lahat Bursah Zarnubi

8.    Buruan, Sumsel lakukan pemutihan PKB sampai desember 2025.

Fenomena ini langsung menjadi sorotan utama, bukan hanya di media sosial, tapi juga media arus utama. Kata kunci “BubarkanDPR” bahkan menempati trending topik nomor satu di Indonesia, dengan ratusan ribu cuitan dalam hitungan jam. Publik pun bertanya-tanya: Apa sebenarnya pemicu kemarahan massa kali ini? Dan lebih jauh lagi, siapa yang berada di balik mobilisasi demonstrasi raksasa ini?

Sebelum hari ini, isu pembubaran DPR hanya terdengar sebagai wacana liar yang ramai di media sosial. Sejumlah akun anonim di Facebook, X (Twitter), hingga TikTok mengunggah video yang menyinggung kinerja DPR yang dianggap tidak pro-rakyat.

Isu ini semakin panas ketika beredar sebuah rekaman yang menampilkan seorang aktivis berteriak bahwa “DPR bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil kepentingan partai dan oligarki!”. Video itu viral dalam waktu singkat, menuai puluhan juta tayangan dan memicu gelombang komentar pedas.

Dari titik itulah, rencana aksi mulai dirancang. Grup WhatsApp, Telegram, dan forum-forum komunitas mahasiswa dipenuhi ajakan untuk turun ke jalan pada tanggal 25 Agustus. Ajakan ini menyebar dengan cepat, hingga merembet ke kalangan buruh, aktivis lingkungan, dan sejumlah ormas.

Sejak Senin, 25/8/2025, pagi hari, ribuan orang mulai berdatangan. Mereka membawa spanduk bertuliskan:

 “DPR Lupa Amanah Rakyat!”

 “Bubarkan DPR, Bentuk Dewan Rakyat!”

 “Rakyat Lelah dengan Janji Kosong!”

Arus massa kian membengkak menjelang siang. Polisi mencatat, jumlah demonstran mencapai puluhan ribu orang, berasal dari berbagai daerah. Situasi jalanan di sekitar Senayan lumpuh total.

Teriakan, nyanyian, hingga orasi silih berganti. Beberapa tokoh mahasiswa bahkan sempat naik ke atas mobil komando, menyerukan agar rakyat tidak lagi memberi legitimasi pada DPR.

“Cukup sudah! Kita tidak mau lagi wakil rakyat yang hanya memikirkan gaji, tunjangan, dan proyek. Kalau DPR hanya menjadi beban rakyat, lebih baik dibubarkan!” teriak salah satu orator yang langsung disambut gemuruh teriakan massa.

Berdasarkan pantauan dan berbagai analisis, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu ledakan kemarahan publik hingga mengarah pada tuntutan ekstrem:

1.    Rendahnya Kepercayaan Publik

Survei terbaru dari beberapa lembaga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR anjlok drastis. Rakyat menilai kinerja DPR tidak mencerminkan aspirasi masyarakat, melainkan lebih sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan elite.

2.    Kasus Korupsi Beruntun

Dalam setahun terakhir, beberapa anggota DPR tersandung kasus korupsi besar. Mulai dari kasus proyek infrastruktur, alokasi dana aspirasi, hingga suap pembahasan undang-undang. Publik geram karena setiap kali ada janji perbaikan, selalu berulang kasus serupa.

3.    Kontroversi RUU

DPR juga dinilai ngotot meloloskan sejumlah Rancangan Undang-Undang yang dianggap bermasalah. Misalnya, aturan yang dinilai menguntungkan investor besar namun merugikan rakyat kecil.

4.    Kemewahan di Tengah Krisis

5.    Ketika rakyat berjuang menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok, DPR justru tersorot dengan wacana renovasi gedung bernilai triliunan rupiah, serta kenaikan tunjangan. Kontras ini memantik api kemarahan.

Sejumlah pengamat politik menilai bahwa aksi ini bukan sekadar gerakan spontan, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan publik. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Suryaningtyas, mengatakan :

“Ketidakpercayaan publik terhadap DPR sudah lama terjadi. Aksi hari ini hanyalah letupan besar yang tak terbendung lagi. Rakyat merasa DPR semakin jauh dari aspirasi mereka.”

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Prof. Mahendra Yuda, menambahkan bahwa tuntutan pembubaran DPR memang tidak mudah diwujudkan, karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, ia mengingatkan bahwa aksi ini tetap menjadi sinyal serius.

“Meskipun secara hukum sulit, aksi ini harus dibaca sebagai alarm bagi DPR. Kalau mereka tetap mengabaikan suara rakyat, krisis legitimasi bisa semakin parah.”

Ada juga yang bertanya dan menduga Siapa Dalang di Balik Aksi? Pertanyaan yang paling ramai diperbincangkan publik adalah, siapa yang sebenarnya menggerakkan aksi besar ini? Diantaranya ada beberapa dugaan mencuat:

1.    Gerakan Mahasiswa Independen

Mahasiswa dikenal sebagai motor penggerak demonstrasi. Mereka punya jaringan luas dan kemampuan memobilisasi massa. Namun, skala aksi kali ini jauh lebih besar, sehingga menimbulkan spekulasi adanya dukungan logistik yang kuat.

2.    Kelompok Buruh dan Aktivis

Serikat buruh dan aktivis lingkungan ikut turun. Beberapa analis menilai, mereka merasa momentumnya tepat untuk menyatukan berbagai isu ketidakadilan di bawah slogan besar “Bubarkan DPR.”

3.    Kepentingan Politik Tertentu

Ada juga dugaan bahwa aksi ini ditunggangi oleh kelompok politik yang ingin melemahkan DPR atau bahkan menggoyang pemerintahan. Apalagi, isu ini muncul menjelang pembahasan anggaran nasional dan konsolidasi politik pasca pemilu 2024.

4.    Gerakan Rakyat Spontan

Sebagian pengamat menilai, aksi ini murni berasal dari kekecewaan rakyat. Media sosial menjadi katalis utama penyebaran narasi, sehingga mobilisasi berlangsung tanpa perlu dalang tunggal.

Tidak bisa dipungkiri, media sosial memainkan peran vital dalam aksi ini. Sejak pagi, ribuan unggahan dengan tagar BubarkanDPR membanjiri platform digital.

Live streaming dari lokasi demo disaksikan jutaan orang. Meme, poster digital, hingga lagu sindiran terhadap DPR menyebar luas. Narasi “Rakyat Lawan DPR” mendominasi percakapan publik.

Menariknya, sejumlah influencer dengan jutaan pengikut ikut menggaungkan isu ini, sehingga daya sebar semakin meluas.

Lantas bagaimana Reaksi Pemerintah dan DPR ? Pemerintah hingga sore ini belum mengeluarkan pernyataan resmi yang panjang, hanya sekadar imbauan agar massa menjaga ketertiban.

Sementara itu, sejumlah anggota DPR bereaksi defensif. Ada yang menilai aksi ini sebagai bentuk “kebebasan berpendapat,” tetapi ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan yang ditunggangi kepentingan tertentu.

Sementara itu, Ketua DPR, dalam konferensi pers singkat, mengatakan:

“Kami mendengar aspirasi rakyat. Namun, saya tegaskan, membubarkan DPR tidak sesuai dengan konstitusi. Kami terbuka untuk berdialog dengan para perwakilan massa.”

Sayangnya, pernyataan ini justru menuai cibiran warganet yang menilai DPR hanya pandai bicara tanpa aksi nyata.

Aksi ini diprediksi tidak berhenti pada hari ini saja. Beberapa aliansi mahasiswa dan organisasi buruh sudah menyerukan aksi lanjutan jika tuntutan tidak direspons serius.

Situasi ini bisa menjadi titik balik dalam hubungan rakyat dengan lembaga legislatif. Bila DPR gagal mengembalikan kepercayaan publik, krisis legitimasi bisa semakin dalam, bahkan berpotensi meluas ke krisis politik yang lebih besar.

Hari ini menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Teriakan ribuan orang yang menuntut pembubaran DPR bukan sekadar teriakan kosong, tetapi simbol dari krisis kepercayaan yang akut.

Apakah aksi ini akan menjadi momentum perubahan nyata, atau sekadar riak yang hilang ditelan waktu? Jawabannya bergantung pada bagaimana DPR merespons suara rakyat.

Satu hal pasti, Senin, 25 Agustus 2025 akan tercatat sebagai hari ketika rakyat bersatu dalam satu suara: “Bubarkan DPR!”. (TIM)
Share:

Featured Post

Analisis Hukum atas Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI bebarapa hari yang lalu

SEKDIS PENDIDIKAN

KABID SMP DISDIK EMPAT LAWANG

KABID KESMAS

KABID SDA DINAS PUPR 4L

KABAG KESRA EMPAT LAWANG

KABAG UMUM EMPAT LAWANG

KABAG TAPEM

SMAN 1 LK

SMAN 1 SALING

SMAN 1 PENDOPO

SMAN 3 TEBING TINGGI

SMAN 1 MUARA PINANG 4 L

SMKN 1 EMPAT LAWANG

SMKN 2 EMPAT LAWANG

SLBN 4L

SMP N 2 TT

SDN 1 TALANG PADANG

KADES KARANG ARE TP

KADES KEMBAHANG BARU

KADES ULAK DABUK TP

PJ. KADES MEKAR JAYA TB. TINGGI

SD NEGERI 24 TBG. TINGGI

Cari di web ini

Tag